DARI PESANTREN

Rabu, 01 September 2010

Husain Ibn Ali, Gugurnya Cucu Terkasih Rasulullah SAW

HUSAIN Ibn Ali setelah ditinggalkan kakaknya berada dalam situasi yang sulit. Karena penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh penguasa Bani Umayyah dengan mengatasnamakan agama masih terus berlanjut. Tidak hanya ulama, bahkan keturunan Rasulullah Saw pun masih terus diburu untuk dihilangkan jejaknya. Padahal, dari keturunan Rasulullah SAW itu ada warisan ilmu dan hikmah serta sunah-sunah Rasulullah SAW bisa didapatkan. Namun kemewahan dan hiasan dunia telah menutup hati para penguasa yang memerintah saat itu. Perlakuan mereka terhadap Husain Ibn Ali Ibn Abu Thalib sangat tidak mencerminkan keislamannya.
Pantas bila suatu ketika Muhammad SAW bersabda, “Husain dari aku, dan aku dari Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintainya. Siapa yang ingin melihat laki-laki ahli surga, lihatlah Husain. Ya Allah aku sangat mencintainya. Cintailah ia, ya Allah” (HR.Ibn Majah).
Siapakah sosok Husain Ibn Ali yang dicintai Rasul Allah ini? Cucu kedua Nabi Muhammad Saw ini lahir di Madinah, 5 Sya`ban 4 H dari Ali Ibn Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, yang wajahnya mirip kakeknya. Karena itu az-Zahra bila teringat kepada ayahnya, cepat-cepat memeluk Husain.
Dalam Ensiklopedi Islam, entri Husain (Jakarta : PT Ichtiar Baroe Van Hoeve 1995), disebutkan bahwa adik dari Hasan Ibn Ali ini menikah dengan puteri Khosru Yazdajird III, raja terakhir dari kerajaan Sasanid di Persia (Iran). Dari pernikahannya Husain dianugerahi delapan anak, empat putra dan empat putri. Namun hanya Ali Ibn Husain az-Zainal Abidin yang selamat dalam tragedi asyura.
Husain dikenal seorang yang hafidz al-qur`an wa hafidz al-hadits. Bahkan dalam kesehariannya pun memilih hidup seperti kakeknya, Rasulullah, yang akrab dengan kemiskinan dan kekurangan materi. Inilah yang menjadikannya begitu dekat dengan kaum mustadhafin ketika sebagian muslimin hidup bergelimang dengan harta-kekayaan.
Diceritakan bahwa sepeninggal ayahnya, tampuk khilafah Islam dipegang kakaknya, Hasan Ibn Ali. Dikarenakan kondisi umat tidak kondusif dan penuh dengan intrik politik, maka Hasan didesak untuk menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah Ibn Abu Sufyan. Namun Muawiyah sendiri dinilai kurang amanah. Atas alasan itu sebagian umat Islam menyarankan Husain untuk mengambil alih kepemimpinan Islam. Namun pihak Bani Umayah tidak mau menyerahkannya, malah dipertahankan secara turun temurun.
Di sinilah akar pergolakan antara Ahlulbayt Nabi dengan Banu Umayah mulai berkembang. Terutama ketika Muawiyah mengangkat Yazid, anaknya, sebagai pengganti khilafah setelah dirinya wafat. Dan sebagian besar umat Islam tidak mau membaiat Yazid Ibn Muawiyah sebagai khalifah Islam karena hidupnya penuh dengan kemaksiatan. Penolakan baiat inilah yang kemudian menjadi pemicu lahirnya tragedi asyura.
“Aku tidak boleh membaiat orang seperti Yazid,” kata Husain ketika gubernur Khalid Ibn Walid memaksanya. Penolakannya diketahui penduduk Kufah sehingga mereka meminta kesediaannya untuk menjadi pemimpin dengan mengundangnya untuk datang. Husain Ibn Ali pun menyanggupinya. Namun salah seorang saudaranya berkata, “Ya, Husain, penduduk Kufah siap berjuang bersamamu. Sebaiknya engkau terlebih dahulu meminta mereka menyingkirkan para pejabat Yazid dari sana. Bila mereka melaksanakannya engkau akan aman di sana.”
“Tidak, aku akan berangkat. Sebab aku datang untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku, Muhammad SAW. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup ayahku, Ali Ibn Abi Thalib. Aku ingin melakukan amar ma`ruf nahi munkar. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran, maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaran-Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Karena Dialah sebaik-baiknya hakim.”
Lalu ia menempuh jarak sekitar 600 km bersama keluarga dan rombongannya menuju Mekkah. Di sana ia mengumumkan perihal keberangkatannya. Setelah itu berangkatlah menuju Kufah dan tibalah di Karbala, Irak. Di sana, malam 10 Muharram 61, Husain mengutus rombongan kecil untuk mengambil air. Setelah semua meminumnya, Husain memberitahukan air itu merupakan persediaan terakhir yang dapat mereka peroleh. Sebab pada 9 Muharram sebelumnya pihak Yazid telah mengultimatumkan, jika perjalanan ke Kufah tetap dilaksanakan maka mereka akan dihabisinya. Maka malam itu juga Husain mengkabarkan bahwa yang berada bersamanya akan syahid di esok hari.
Ya, 10 Muharram 61 adalah hari yang paling menyedihkan. Di hari itu kafilah Husain yang berjumlah 72 orang telah dihadang pasukan sekitar 30.000 orang. Akhirnya, peperangan yang tidak seimbang pun terjadi. Satu persatu sahabat dan keluarganya gugur. Bahkan bayinya, Ali Ar-Radhi, yang dalam gendongan disambar anak panah. Husain berlari ke medan laga. Tidak sedikit musuh yang jatuh ditangannya. Namun tidak disangka sebatang anak panah telah menancap didahinya; yang perlahan-lahan wajah dan janggutnya bermandikan darah. Husain tersenyum melihat darahnya mengalir. Kemudian berdiri. Namun beberapa anak panah melesat menancapi dadanya. Dan tiba-tiba, blugh, rubuh tak berdaya. Dan pasukan Yazid pun cepat-cepat menggerubutinya. Ada yang menusuk-nusukkan tombak. Ada yang menginjak-injakkan kuda pada punggungnya. Bahkan ada yang memenggal kepala Husain hingga putus. Naudzubillahimindzalik. Gugurlah cucu terkasih Nabi Muhammad SAW yang selalu ditimang-timang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar