DARI PESANTREN

Kamis, 07 Oktober 2010

Ulang Tahun Anti-Klimaks (PSSI vs Uruguay)

04 Mei 1974. Ulang Tahun Anti-Klimaks BUKAN saja menunda rasa kecewa penggemarnya, Kesebelasan PSSI malahan memperpanjang harapan mereka.
Berhadapan dengan Kesebelasan World Cup Uruguay minus beberapa pemain intinya, PSSI pada pertandingan tanggal 19 April mempersilahkan 60.000 penonton Stadion Utama untuk memperbincangkan prospeknya. Tentu saja kali ini mereka patut mendapat ujian. Bukan lantaran pemain-pemain Uruguay kehilangan pola dan gaya Amerika Latinnya — permainan pendek, kontrol dan pengolahan individuil yang matang dibarengi terobosan-terobosan berbahaya. Lebih-lebih tanpa Iswadi anak-anak PSSI berhasil mengembangkan tempo permainan yang memaksa lawan menyesuaikan diri. Trio Kadir-Waskito-Risdianto tidak menemui kesulitan mengacak-acak pertahanan lawan yang kendor. Ada tanda tanya apakah Uruguay sedang menyesuaikan taktik dan strategi baru untuk menghadapi babak final di Muenchen bulan Juni ini? Tapi jelas dalam menyusun pertahanan, mereka tidak mendasarkan man-to-man marking maupun membangun pertahanan zone yang mengandelkan pada kemahiran posisionik. Di barisan muka mereka nampaknya terlalu rakus membuat gol, sehingga selalu kesusu mendekati gawang Ronny Pasla. Menguasai lapangan tengah, taktik khas pemain Amerika Latin tidak dipergunakan semestinya sebagai basis pengatur serangan. Bola banyak diumpan tinggi menyilang. Substansiil: Perubahan substansiil pada gaya Amerika Latin ini barangkali yang membawa kemajuan substansiil pula bagi anak-asuhan Djamiat. Dalam langkah dan tempo pertandingan seperti itu kesebelasan PSSI nampak lebih mantap. Dan kemenangan 2-1 atas Uruguay bertepatan dengan HUT PSSI ke-44, paling tidak menyuguhkan kemungkinan baru buat pemain-pemain muka lama. Apakah dalam pertandingan revans tanggal 20 April — meski kalah 2-3 tapi cukup memuaskan merupakan nilai kemajuan substansiil Kesebelasan PSSI ? Djamiat sendiri lewat Kompas menyatakan “belum dapat dikatakan konstan”. Di lini belakang Sutan Harhara jelas kurang beruntung, karena harus melayani kiri-luar yang amat menonjol pengolahan bolanya. Subroto sebagai poros-halang pertama di sisih Anwar Ujang, nampak lebih condong ke kiri. Ini merepotkan Nobon untuk menutup lobang dari sudut kanan. Sementara mengenai Nobon sendiri agaknya Djamiat masih berada di persimpangan. Membiarkan Nobon berlanglang-buana menurut keadaan atau menjadikan dia terrier dengan tujuan merongrong seorang lawan. Tanpa Iswadi Risdianto nampaknya menjadi ompong. Lebih-lebih dengan posisi agak tertarik mundur. Bukankah kombinasi Ris lebih herbahaya di sekitar daerah gawang lawan? Switch-switch Kadir dan Waskito yang langsung mengancam gawang lawan, merupakan orang pada terobosan-terobosan Jacob Sihasale. Dengan materi pemain yang dimiliki PSSI plus prestasinya lawan Uruguay sekarang, agaknya boleh dijadikan modal untuk mencapai sasaran Juara pada Turnamen Anniversary Cup 1974 bulan Juni yang akan datang. Syahdan, jika orang menilai mutu permainan PSSI itu sebagai hadiah ulang tahun, tidak pula berlebihan. Beberapa peristiwa menjelang usianya ke-44, induk-organisasi ini merundung kemuraman. Rencana coaching oleh Tony Pogaknik tak kunjung terlaksana. Turnamen antar Wiiayah belum lagi menampilkan pemain-pemain yang dapat merubah wajah kesebelasan nasional. Persiapan pembentukan team nasional junior ke Bangkok gugur di kandungan. Tidak jelas absennya PSSI dalam turnamen Junior itu karena alasan biaya atau memang kurang bermutu. Sementara itu Coach Suwardi Arland yang baru dipromosikan ke tingkat nasional, menjelang pertandingan PSSI-Uruguay ternyata telah mengikat diri dengan team PSBI Blitar. Rentetan peristiwa itu terjadi justru bertepatan pada periode pembaruan oleh Ketua Komtek Suparyo yang terkenal keras disiplinnya dalam pembinaan. Keresahan yang kian bertumpuk agaknya terbasuh oleh pertunjukan PSSI di lapangan hijau pada hari ulang tahunnya ke-44. Meskipun anti-klimaks yang terjadi pada dua pertandingan lawan Kesebelasan Uruguay itu bukan tidak membawa konsekwensi bagi pimpinan PSSI, khususnya Komteknya. Kenyataan bahwa para pemain dihimpun tergesa-gesa di Pelatnas dengan hasil di luar dugaan itu, tidak kurang menimbulkan pertanyaan juga. Bukankah singkatnya waktu pembinaan dan pergaulan di Pelatnas justru tidak sempat menguras tenaga dan mental para pemain? “Ada benarnya juga orang bilang begitu”, kata Ronny Pasla pada TEMPO, “kami masih fresh, masih kangen setelah lama tidak bersatu dalam team”. Rupanya bekal kesegaran dari rumah ditambah suasana Hut PSSI, masih memadai untuk diper-taruhkan dalam satu atau dua pertandingan. Sampai di sini tentu saja bukan lembaga pelatnas yang harus dikorbankan. Kalau makin lama dilatih makin mandul, barangkali pembinaannya yang kurang beres. Mau kata apalagi?
04 Mei 1974

Berita Hijrah Suwardi

BERITA hijrah ke Blitar dan ketidak hadiran pelatih nasional Suwardi Arland dalam Pelatnas PSSI menjelang pertandingan dengan team Piala Dunia Uruguay, ternyata cukup mengejutkan penggemar-penggemar sepakbola ibukota. Betapa tidak, sementara waktu pertandingan kian mendekat orang yang akan melatih belum juga nongol. Lantas apakah yang bisa diharapkan dari suatu kesebelasan yang disusun secara tergesa-gesa? “Ternyata Jamiat boleh juga”, komentar penonton seusai pertandingan Minggu sore itu. Serba mungkin. Lalu adakah dengan kemenangan dan kekalahan PSSI itu orang lantas melupakan Suwardi Arland? Ternyata tidak. “Kalau dengan Suwardi mungkin langgam permainan akanlain dan kita bisa memenangkan dua kali pertandingan tersebut”, mengoceh para penggemar Suwardi. “Semuanya memang serba mungkin”, kata Suwardi kepada TEMPO. Dalam kondisi yang serba ketidak-pastian itulah orang mulai menduga-duga bahwa antara Suwardi dan PSSI tentu ada apa-apanya. Apalagi terbetik berita bahwa Suwardi Arland mendapatkan honor yang meliputi Rp 4 juta lebih dari PSBI, Blitar. Sementara dari PSSI ia hanya mengumpulkan Rp 75.000 per-bulannya. “Angka itu terlalu dilebih-lebil1kan”, bantah Suwardi yang menyatakan bahwa dalam soal honorarium PSSI masih top sampai saat ini. “Kepindahan saya ke Blitar bukan karena soal honor. Tapi karena di sana saya mempunyai sedikit usaha dengan seorang kawan”, tambahnya tanpa menyebut usaha apa yang sedang dijalankannya. “Wajar toh kalau saya mulai memikirkan masa depan saya”, katanya balik bertanya, sebab “saya kan sudah mempunyai keluarga”. Nasib Suwardi rupanya rezeki buat Bupati Blitar Sanudi sana untuk melatih PSBI, apalagi karena pelatih yang lama Ramang harus kembali ke Ujung Pandang menyelesaikan urusan pekerjaannya. Tapi yang menarik perhatian bukanlah soal pemanfaatan yang secara kebetulan itu. Sebab jauh sebelum itu, ketika pertandingan 8 Besar PSSI yang lalu Sanusi memang telah melakukan pendekatan dengan Suwardi. Running well. Memasuki tahun 1974 Suwardi yang telah menyetujui gagasan Sanusi untuk membina PSBI meminta izin secara lisan dengan Komisi Teknik PSSI. Dan kolega yang di Komtek pun dapat memahami keinginan Suwardi. Karena itulah sejak pekan terakhir Pebruari lalu Suwardi berada di Blitar. Menjelang pembukaan Pelatnas yang lampau Suwardi telah dikirimi telegram oleh Komtek untuk rapat di Jakarta. Tapi karena suatu persoalan bisnis ia tak dapat memenuhi panggilan itu. “Kalau saja perusahaan kami itu sudah runnning well” barangkali saya dengan mudah ke Jakarta”, kata Suwardi. Tapi “bagaimana ya?”, tambahnya mencoba mendudukkan permasalahan. Meski demikian Suwardi tidak menyatakan keberatan bila ia masih dipercayakan untuk menangani team nasional untuk Turnamen Hut Jakarta, Juni mendatang. “Nanti itu bisa diatur dengan PSBI, Blitar”, katanya. Dan jika Suwardi yang sudah menanda-tangani kontrak dengan PSBI untuk jangka 4 tahun, bila kegiatan insidentil dengan PSSI memerlukan dirinya, ia pun telah menyiapkan seorang pembantu untuk melanjutkan latihan di Blitar. Namanya Martono, bekas pemain TC Salatiga. “Orangnya bolehlah”, komentar Suwardi terhadap Martono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar