DARI PESANTREN

Jumat, 27 Agustus 2010

Pondok Sepuh Payaman

Usia Santri 60-80 Tahun, Tiap Hari Tidur di Masjid

image
SM/Habib BACA ALQURAN: Para santri Ponpes  Sepuh Payaman bersemangat membaca Alquran. (46)
Kebanyakan pondok pesantren (ponpes) dihuni santri berusia muda, dari anak-anak hingga remaja. Namun, Ponpes Sepuh Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang merupakan pengecualian. Santri ponpes ini terdiri atas manula alias manusia usia lanjut. Bagaimana aktivitas mereka sehari-hari?
SUASANA Pondok Sepuh Payaman kemarin sore terlihat semarak. Ratusan nenek mengantre teh hangat yang dibagikan pengelola pondok di halaman Masjid Agung Payaman. Mereka menggunakan cangkir aluminium besar yang dibawa dari rumah.
Teh gratis itu disediakan pengelola pondok setiap menjelang buka puasa dan sahur.
Untuk makanan, mereka bisa membeli pada pedagang di sekitar pondok. Di sana ada belasan warung makan dadakan yang menjual aneka makanan murah. Nasi bungkus besar hanya dijual Rp 1.000 dan sayur Rp 500. Jika ingin lauk pauk, cukup menambah Rp 1.000. Uniknya, kebanyakan penjual juga orang-orang tua. Selain nasi bungkus, mereka juga menjual lotek, sate, dan yang paling laris nasi rames.
”Di sini Rp 1.500 sudah bisa membuat kenyang. Minum sudah ditanggung pondok. Jika kurang, bisa membeli air panas dari warga Rp 500 satu termos. Ini sudah cukup bagi kami,” kata Latifah (75), salah satu santri pondok.
Nenek asal Salam Kanci Bandongan itu mengaku sehari maksimal hanya menghabiskan Rp 7 ribu. Jumlah itu sudah termasuk untuk biaya makan camilan (snack) dan amal jariyah Rp 1.000 per hari. Ia juga tak perlu membayar untuk bisa nyantri selama Ramadan. Mereka cukup menyumbang Rp 20 ribu untuk membayar listrik dan air.
Latifah mulai tinggal di pondok itu sejak hari pertama Ramadan bersama sejumlah perempuan sekampungnya. Ia baru akan pulang pada hari ke-21 Puasa nanti.
”Tapi banyak juga yang pulang mendekati Lebaran,” kata wanita yang tengah sakit itu.
Dalam dua hari terakhir, cuaca di Magelang kurang bersahabat karena sering turun hujan deras serta angin kencang. Rabu sore, di lingkungan sekitar pondok juga turun hujan deras sehingga air melimpas sampai ke teras masjid, tempat para santri manula tinggal.
Namun, Latifah dan ibu-ibu lainnya bergeming.
Menurut Muslikah (75), santri lainnya, banyak santri yang sakit dalam seminggu terakhir. Mereka rata-rata mengeluh pusing, batuk, dan masuk angin. Meski demikian, mereka menolak pulang.
”Paling-paling kalau sakit kami beli obat di warung atau periksa ke puskesmas. Kami takkan pulang sebelum tanggal 21 Puasa nanti,” ujarnya.

Bekal Akhirat

Menurut Malikah (70), santri asal Windusari, dirinya nyantri di Ponpes Sepuh Payaman karena ingin mencari bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Karena itu, sakit dan hujan bukan halangan. Sejak awal sudah diniati meski tidur di masjid hanya beralaskan karpet tua. Ia juga sudah menyerahkan urusan persiapan Lebaran kepada anak-anaknya.
”Kami sudah tinggalkan semuanya. Saat ini kami hanya ingin mengaji, bertobat, dan memperbanyak amal ibadah,” ungkap Malikah.
Selama pengajian di masjid berarsitektur kuno tersebut, tempat duduk pria dan wanita dipisahkan. Santri pria ditempatkan di sisi selatan,  sementara santri perempuan di sisi lainnya. Pengajian biasanya dimulai pagi hari pukul 06.00 sampai pukul 08.00 oleh KH Mafatikhul Huda.
Setelah itu, para santri beristirahat dan memulai pengajian lagi pada pukul 11.00 sampai dhuhur dengan materi tanya jawab persoalan hidup sehari-hari. Pengajian kemudian dilanjutkan pukul 14.00 sampai pukul 16.00.
Aktivitas pondok memang terbilang nonstop selama Ramadan. Sehabis ashar masih ada kajian lagi tentang fiqih dan hadist hingga menjelang maghrib. Malam usai shalat tarawih, para santri juga harus mengikuti tadarus Alquran.
Aktivitas yang terbilang tinggi itu tentu saja menguras tenaga. Jika tidak pintar menjaga kondisi tubuh, santri bisa jatuh sakit. Apalagi usia mereka rata-rata 60-80 tahun. Untuk menjaga kesehatan, mereka tidak punya trik khusus.
Kebanyakan mengaku hanya mamakai pakaian hangat dan minum teh panas. Ada juga yang hobi minum kopi panas seperti dilakukan Saudah (80). Ia mengaku selalu minum kopi setiap sahur dan buka puasa.
”Ini seperti yang diiklankan di televisi itu. Selain itu, saya juga bawa jaket, selimut, dan bantal sendiri.”
Nenek asal Windusari itu mengaku sudah mengikuti kegiatan di Ponpes Sepuh Payaman selama 10 tahun. Ia dulu hanya mendengar dari cerita-cerita orang, kemudian ingin mengikutinya dan berlanjut sampai sekarang.
Di luar jadwal tetap pondok, para santri didorong untuk banyak-banyak membaca Alquran. Sebisa mungkin waktu mereka digunakan untuk beribadah.
Maslikah misalnya, mengaku sudah khatam Alquran dua kali. Sampai tanggal 21 nanti ia menargetkan khatam tiga kali.
Menurut pengasuh Ponpes Sepuh Payaman KH Mafatikhul Huda, para santri juga wajib shalat malam (tahajud) secara berjamaah. “Mereka kami ajari dan dibiasakan melakukan qiyamul lail. Shalat malam ini banyak faedahnya,” jelasnya.
KH Mafatikhul Huda merupakan generasi keempat pendiri pondok Romo Agung Siraj. Ia mengajarkan berbagai ilmu agama seperti fiqih (hukum Islam), tasawuf, tafsir Alquran dan hadist serta belajar menata hati.
”Ilmu ini diajarkan sesuai kemampuan para santri. Yang terpenting mereka bisa menerima dan mengamalkannya. Materi tak perlu yang berat-berat, yang penting bisa diterima. Apalagi mereka sudah sepuh,” kata cicit Romo Agung Siraj itu. (MH Habib Shaleh-59)

2 komentar:

  1. min..mau tanya, pondok ini kusus bulan romadhon saja atau hari2 biasa juga ada ya? sy nyari web nya tidak ketemu? Mohon balasanya

    BalasHapus
  2. min..mau tanya, pondok ini kusus bulan romadhon saja atau hari2 biasa juga ada ya? sy nyari web nya tidak ketemu? Mohon balasanya

    BalasHapus